12 September 2008

AZTEC, Runtuhnya Sebuah Kekaisaran [Habis]

YANG TINGGAL HANYA SISA

Kaum bangsawan yang berusaha mempertahankan budaya Indian akhirnya harus minggir. Bangsa Indian lalu terjebak budaya mabuk-mabukan. Hingga akhirnya, mereka tergusur di tanah mereka sendiri.

Sebagian kaum bangsawan berusaha mempertahankan tradisi dan budaya nenek moyangnya. Mereka juga masih suk bernostalgia dengan -mengingat-ingat kejayaan masa lalu, ketika
bangsa Spanyol belum menjejakkan kakinya di Lembah Mexico.
Tapi akhirnya mereka toh harus mengalah dan terpaksa menghadapi kenyataan pahit. Perkawinan campur antara Indian dan Spanyol kian men
ingkat. Dan pengaruh bangsa pendatang itu terhadap kelompok blasteran terbukti lebih kuat ketimbang mereka. Hingga walau tak sama sekali hilang, keberadaan kaum bangsawan yang tersisa ini sudah tak mempunyai pengaruh apa-apa lagi.
Lagipula yang mereka k
atakan sebagai tradisi atau budaya nenek moyang sebenarnya sudah tak asli lagi. Malah bisa dibilang cuma sekedar peniruan dari budaya bangsa Spanyol. Ini terjadi akibat perkawinan campura yang terus menigkat, dan secara otomoatis mengaburkan identitas bangsa Indian.

Bangsawan Baru
Namun pada abad ke-18, masih ada kaum bangsawan yang bertahan dan memiliki kekuatan yang cukup untuk menjadi kelompok penekan di Mexico dan Tlaxcala. Kelompok ini menjalin hubungan akrab dengan Gereja dan selalu membanggakan darah dan asalnya. Mereka mampu mengumpulkan kekayaan, kekuasaan dan memelihara budaya asli.
Juru bicara kelompok ini tak segan-segan berkunjung ke Spanyol dan menununtut keras nasib Indian blasteran, dan kalau perlu meminta Indian asli diberikan pendidikan, hingga mereka bisa keluar dari 'kegelapan kebodohan'. Mereka dekat dengan gereja karena tekun mempelajari ajaran-ajaran yang diberikan oleh para misionaris yang datang pada abad ke-16.
Ketika kaum bangsawan di kota mencoba memperlambat kemerosotannya, Indian asli di pedesaan justru sudah menerapkan pola kemasyarakatan yang ba
ru. Mereka tak lagi berbakti kepada kaum bangsawan. Kehidupan mereka kini berputar pada para tuan tanah, yang tak mempunyai silsilah kebangsawanan. Tuan tanah ini dalam bahasa sono disebut pueblo mewakili desa, tanah dan masyarakat.
Akibatnya perpecahan etnik dan lenyapnya kekuatan politik kaum bangsawan Indian memang dahsyat. Para pewaris kekayaan Aztec yang dulu menguasai seluruh lembah Mexico, pada akhir abad ke-16 menjadi orang-orang yang cuma memegang desa.
Dari pertengahan abad ke-17 ke depan, raja-raja kecil ini melegitimasikan kekuasaan mereka. Soalnya dari darah dan keturunan mereka memang tak punya hak duduk di situ. Untuk mencapai tujuan itu mereka membentuk identitas sendiri - yang berbeda dengan identitas kaum bangsawan Indian - dan juga menciptakan posisi sendiri di lapisan sosial masyarakat kolonial.
Mereka, antara lain, menciptakan dan memakai gelar-gelar baru. Ini bisa mereka lakukan karena mereka mempunyai kemampuan baca tulis [bahasa Indian]. Dengan demikian mereka masih ingat susunan peringkat sosial masyarakat Aztec. Jadi merek atinggal menyontek saja.
Hubungan dengan gereja juga
terjalin dengan baik. Gereja yang telah ada selama satu abad tak lagi dipandang sebagai paksaan. Gereja pada saat itu telah menjadi poros kehidupan baru, karena di sanalah berbagai bentuk ritual keagamaan belangsung. Bila mengingat Indian adalah masyarakat yang sangat mementingkan ritual dan prosesi keagamaan, hal ini bukanlah hal yang mengherankan.
Selain itu mereka ju
ga masih menyisakan ajaran lama. Mereka, misalnya, masih menganggap tanah, rumah dan keun jagungnya memiliki kekuatan nenek moyang. tap pada paruh pertama abad ke-17, bahkan sebelum epidemi hebat, mereka berusaha membangkitkan makna dan keseimbangan kehidupan dengan cara menggabungkan kekuatan tradisional - api, air, gunung atau gunung - dengan para orang suci yang kini melindungi desa dan rumah mereka. Sedikti demi sedikit bangsa Indian menciptakan ritual dan prosesi yang merupaka penggabungan ajaran nenek moyang dengan agama baru mereka. Praktek seperti ini masih dapat dilihat pad aIndian zaman sekarang.
Abad ke-17 menyaksikan tumbuh suburnya agama Kristen yang untuk, yang memungkinkan bangsa Indian mengekspresikan apa yang tersisa dari identitas asalnya. Mereka menyebarkan ritual dan prosesi itu melalui pertemuan keluarga, perluasan persaudaraan dan penggabungan festival antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.

Agama Kristen di Mexico kian unik karena juga menerima pengaruh dari kaum blasteran dan mulatto [keturunan kaum blasteran]. Juga karen abangsa Spanyol pad aabad ke-18 masuk samai ke desa-desa. Mereka juga menimbulkan budaya baru. Yang mencampurkan seluruh kepercayaan dan budaya yang ada. Budaya inilah yang kemudian membayang-bayangi budaya modern di Mexico City.
Berhubungan dengan k
aum blasteran, mulatto [keturunan blasteran] dan Spanyol yang masuk ke wilayah pedesaan menyebabkan Katolik melewati sebuah evolusi berikutnya pada abad ke-18. Budaya umum muncul yang mencampurkan seluruh kepercayaan dan praktek keagamaan, membayangi budaya umum yang ada di Mexico modern, dimana warisan nenek moyang telah lenyap.
Tentu saja yang paling tak setuju dengan membesarnya kekuasaan para pueblo adalah para hacendado [tuan tanah bangsa Spanyol]. Pada abad ke-17 dan 18 dipenuhi dengan konflik antara pueblo dan hacendado.
Persaingan antar kedua kelompok ini sebenarnya terjadi secara tak sengaja. Epidemi dahsyat yang melanda Lembah Mexico mengakibatkan sejumlah besar penduduk asli tewas. Hingga banyak tanah garapan yang terlantar. Tanah terlantar inilah yang kemudian ditempati oelh para hacendado.
Namun pada abad
ke-18, populasi penduduk asli mulai berkembang kembali. Kebutuhan tanah pun menigkat. Tapi tanah garapan mereka kini sudah dikuasai tuan tanah bangsa Spanyol. Pertikaian pun tak terhindarkan. Di paruh kedua abad ke-18, ketegangan meningkat dan revolusi lokal sering meletup.
Sedang untuk masyarakat biasa, mereka sama sekali tak merasakan perbedaan. Apakah itu pada era Aztec, pada periode invasi bangsa Spanyol, atau pada zaman pueblo dan hacendado. Mereka tetap pad akondisi kehidupan yang sama, mekanan yang sama, dan kemiskina yang sama.

Kehidupan Modern
Masyarakat awam yang mengalami perubahan drastis justru yang berdiam di perkotaan. Terutama di ibukota yang baru. Di sini sejak abad ke-16, bangsa Indian menjadi akrab dengan lidah Spanyol dan juga m
engalami percampuran biologis, sosial dan kultural.
Mereka tertatih-tatih melangkah di antara dua dunia. Yakni dunia tuan-tuan penjajah, di mana mereka bisa bergerak lebih leluasa dan tradisi Indian yang kadang-kadang terasa begitu ketat hingga tak memberi peluang sama sekali. Banyak di antara mereka berkemampuan dua bahasa. Mereka juga tahu memanfaatkan asal usulnya agar mendatangkan keuntungan kepada dirinya. Pada abad ke-17, cara berpakaian dan potongan rambut tak lagi membeda
kan mereka dari populasi Spanyol.
Seperti magnet, kehidupan kota menarik kaum Indian pedesaan. Baik karena mereka teerlalu diesploitasi di desa atau karena mereka memang memutuskan untuk lepas dari komunitasnya. Ini sebenarnya bukan hal baru, karena ratusan tahun sebelumnya, kaum Indian Nomad mendatangi kota-kota dalam rangka memperoleh sedikit peradaban.
Di kota-kota bangsa Indian segera terjebak aspek negatif "kebudayaan" yang dibawa oleh bangsa Spanyol. Yang paling menonjol adalah kebiasaan mabuk-mabukan, atau alkoholisme yang melanda hampir semua bangsa Indian di perkotaan.
Tempat-tempat umum atau yang dikenal dengan sebutan pulquerias menjadi pusat kebusukan. Di sinilah para suami menghabiskan pendapatan untuk keluarga, para wanita mabuk dan menggugurkan bayinya, dan tempat pertikaian berdarah dan prostitusi berlangsung. Pada 1784, Ibukota memiliki tak kurang 600 pulqueria.
Kendati tempat-tempat itu menampung seluruh kebejatan, korupsi dan cinta gelap, pulqueria sebenarnya juga berfungsi sebagai katup pelepasan. Di situ mereka bisa sedikit menikmati hidup dan bersantai. Pu
lqueria menjadi alternatif untuk sebentar melarikan diri dari masyarakat yang ketat dan menempatkan setiap orang pad aposis yang tetap, bergantung pada ras dan kekayaannya.
Dari akhir abad ke-18, bangsa Indian yang bertahan dari epidemi, kawin campur, dan eksploitasi kolonial menghadapi 'pembantaian' dari dunia baru.
Ironisnya, ancaman pembantaian itu datang pada era Pencerahan dan zaman Kemerdekaan. Pada kedua periode ini jalan hidup bangsa Indian kembali dipertanyakan. Akibatnya, bangsa Indian yang sudah susah payah mencari keseimbangan dengan pola kemasyarakatan yang baru kembali terguncang-guncang.
Pada zaman Pencerahan, pemerintah kolonialisme bernafsu sekali 'memperadabkan' bangsa Indian. Mereka memaksa seluruh kepala sekolah di seantero Mexico mengajar dalam bahasa Spanyol. Pada saat yang sama, sekitar 1780-1n, pemerintah yang sedang memusatkan perhatian pada bidang ekonomi, mengeluarkan peraturan yang menggoyang tonggak-tonggak utama kehidupan Indian. Dengan alasan ekonomi, mereka dilarang atau sangta dibatasi dalam menyelenggarakan ritual, festival atau prosesi keagamaan. Pemerintah juga mulai mengutak-atik tradisi komunal [hidup secara berkelompok] bangsa Indian.
Raja Spanyol juga m
empunyai pemikiran yang sama, dan segera menyempurnakan kebijakannya terhadap komunitas Indian. Pada abad ke-19, ia mengeluarkan peraturan yang menghapus perbedaan antara Indian dan Spanyol yang sebelumnya sah secara hukum.
Ketiak merdeka pada 1821, Mexico muda, yang sebetulnya belum mengutamakan demokrasi dan persamaan hak, menegaskan kebijakan itu. Indian menjadi warga negara biasa sama seperti lainnya, dan melancarkan swastanisasi tanah-tanah komunal, yang menjadi sumber utama pendapatan para pueblo. in sebenarnya sama saja dengan menjatuhkan hukuman mati buat oenduduk asli. Kantung-kantung yang menampung penduduk asli pun menghilang. Mereka, suku Indian asli, pewaris kejayaan Tenochtitlan dan Tlatelolco, hilang di telan kota modern ini. Setelah itu bangsa Indian hanya bisa berdiri di pinggir memberi jalan kepada kaum spekulan. Mereka telah kalah. Beberapa kejadian lain kian menekan populasi asli di sepanjang abad ke-19. Hacienda menjadikan petani asli menjadi buruh tani yang tak pernah lepas dari hutang, hingga sepanjang hidup terikat dengan tuan tanah yang memperlakukan mereka secara sewenang-wenang. Kendati revolusi 1910 mengakhiri perbudakan bentuk baru ini, hal itu tak dapat menahan laju penghancuran bangsa Indian.
Beberapa desa, beberapa kantung mampu menolak modernisasi lebih lama dari yang lain. Tapi memasuki 1940-an, industrialisasi begitu cepat terjadi. Ini lantas membuka gelombang migrasi dari desa ke kota. Bangsa Indian meninggalkan tanah-tanahnya di desa yang tak lagi bisa memberi makan cukup untuk keluarga.
Kini lansekap yang dulu pernah menampilkan sebuah kekaisaran, flora dan fauna yang berusia ribuan tahun dan menjadi saksi kebesaran budaya Aztec telah dikurung oleh megapolis Mexico City yang berpenduduk 20 juta. Dan bangsa Indian hanya sebagian kecil dari jumlah itu.

[Disadur dari Majalah HAI 47/XVII 30 November 1993]